INSPIRATION
this site the web
;

Untuk Palestina

Matarhariku terbenam bersama malam merenggut kehidupan siang. Sebagian warna dunia kelam saat mereka datang membawa kehancuran... sepasukan dajal bergerombol menjadi pembantai-pembantai kejam, menjadi binatang-binatang haus darah... (ga kuat ngelanjutin tulisannya keburu gemetar tangan ini)

Untuk Seorang Teman

Saat dunia ditundukkan di bawah telapak kakiku, saat semua mengagungkan dan memujaku, saat itu pula kutersadar akan kekerdilanku. Saat semua perkataanku diabadikan oleh setiap yang mendengar, saat setiap titahku tak seorangpun berani membangkang, saat itulah kusadar akan kehinaanku. Mereka berkata tentang diriku yang sempurna seolah tanpa cacat, mereka berlomba-lomba untuk seperti aku, tapi mereka tak mengerti bahwa aku seperti terpenjara...

Semakin tinggi kuterbang, semakin deras angin mengombangambingkanku, semakin cepat kuberlari semakin menanjak jalan yang kulalui... wahai teman... genggamlah tanganku karena pada hakikatnya aku lemah, wahai teman... tetaplah hibur aku, karena pada hakikatnya aku kesepian, dan tetaplah bersamaku... karena... karena aku adalah temanmu...

NEGERIKU

Negeriku kekeringan air mata, negeriku berlumuran darah, negeriku meregang nyawa. Anak-anak negeri menjadi durhaka, berbondong-bondong menikam, menggerogoti setiap inchi tubuhnya yang telah renta karena usia. Mereka menjadi beringas, mencabik-cabik, mengoyak-ngoyak memperebutkannya seperti binatang buas memperebutkan buruannya.

Ibuku hanya bisa menutupi kedua mataku seolah tak tega melihat monster-monster berwujud manusia yang yang berakal tapi seolah hilang akalnya, yang berhati tapi seolah mati hatinya, yang beradab tapi terpuji kebiadabannya. Meraka memepebutkan negeri ini dengan bertopeng pahlawan, mereka seolah bergandengan tangan tapi taktik, intrik bersembunyi dibalik seriangai senyumnya yang munafik.

Dulu negeri ini harum hingga keharumannya membuat terbangun penghuni surga untuk memberikan anugrah untuknya. Dahulu negeri ini berjaya namanya besar terpapmpang di atap langit, dahulu negeri ini berjaya yang ketika namanya disebut segan semua yang mendengarnya. Tapi itu dulu....

INSIDE ME

Terlalu rumit keterbatasan pemikiranku untuk menjabarakan semua yang terjadi. Kurasa terbelenggu dengan paradigma yang telah berkarat menyekat aliran darah, mengiringi detak jantung, dan menguasai segenap jiwaku. Padahal kusadar bahwa jiwa ini bebas, bebas untuk hinggap pada apa saja yang menurutnya nyaman, indah dan mendamaikan. Pengembaraanku seakan tak terarah... terlalu takut kuhadapi badai, terallu pengecut kudihadang petaka, terlalu kecil untuk kuangkat daguku dan kulihat semesta. Aku terpuruk dalam ketidak berdayaan...

Padahal terkadang suaraku lantang seperti genderang perang menyuarakan bahwa akulah raja dari hari-hariku, bahwa akulah penentu masa depanku, bahwa akulah yang terhebat dan... hah... kesombonganku dibungkam dengan realita...

DILEMA

Aku melihatmu menjelma dari kehampaan pikiran,
merekayasa kekosongan menjadi satu makna tak terduga adanya
Seperti kilatan cahaya memecah kegelapan,
sepintas mengukir seraut wajah indah lalu hilang dalam pekat

Aku jauh menyusuri lingkaran yang seakan tak berujung,
diterbangkan angan menembus batas ruang dan waktu
sampai kusadar terlalu dalam kudihanyutkannya
terlalu lama kuterperangkap dalam auranya....

ABSTRAK


Ruang dan waktu menyatu menjadi dimensi. Bentuk, rupa dan warna bergabung membentuk wujud. Semua yang bisa dilihat, didengar dan di raba adalah nyata. Lalu apakah yang yang tak bisa di deskripsi oleh mereka ?... berupa tapi tak dapat dilihat oleh mata... bersuara tapi tak dapat didengar oleh telinga... Ada tapi tak dapat teraba oleh tangan... katakan saja itu "CINTA". Dia ada tapi entah seperti apa rupanya, dia terdengar tapi entah seperti apa suaranya. Dia bisa bergejolak hebat seperti badai, dia juga bisa tenang seperti permukaan danau, dia bisa membakar seperti api, dia juga bisa menyejukan seperti salju. Dia itu abstrak tapi nyata adanya. Jadi apakah arti dari cinta itu sendiri ?... arti, makna dan definisi itu biarlah menjadi kebebasan bagi siapa saja yang merasakan adanya cinta...

(bersambung)

PERADABAN



Zaman berderu dengan kencang melibas semua yang tak mampu beralri bersamanya, menggilas semua yang lemah, membunuh semua yang enggan menjadi abdinya. Zaman itu buas, kejam dan tanpa ampun. Zaman yang menghasilkan peradaban, peradaban yang menghasilkan manusia-manusia yang katanya pilihan, tapi sebagian dari mereka itu buta, tuli, bisu dan lumpuh. Katakan saja mereka buta karena mereka tak mampu melihat selain sesuatu yang menguntungkan baginya. Katakan saja mereka tuli, karena mereka tak bisa mendengar jeritan, tangisan dan rintihan sesamanya. Katakan saja mereka lumpuh karena mereka enggan meggunakan kakinya untuk berjalan. Hahahaha... seperti itukah harga sebuah peradaban ?... Ternyata tak selamanya peradaban itu menghasilkan insan-insan yang beradab....

HASRAT JIWA



Sekejap senja meninggalkan seberkas rona untk jiwa yang rentan dan lelah oleh kamoflase dunia. Aku menunduk melihat tanah yang basah oleh hujan yang tak begitu lebat. Kurasakan kesejukan ini menelusup kedalam sanubari yang terasa letih menjalani hari-hari. Sempat kubertanya pada jiwa terdalamku akan apa arti dari hidup ini, dia membisu seolah menyatakan tak ada makna untuk hidup ini. Satu jam aku memanjakan lamunan antara langit dan bumi, langit dengan cahaya matahari senja yang menyelinap di balik awan merubah warnanya menjadi jingga cerah tapi tak menyilaukan, bumi dengan hamparan bukit dan padang ilalang sejauh mata memandang.

Aku berbisik sebentar lagi gelap dan siang akan mengakhiri kisahnya, maka kegelapan akan menyelimuti bumi ini. Siang dan malam hanya dibedakan oleh cahaya, jika pada saat siang matahari pasti hadir, tapi tak setiap malam rembulan menampakan wajahnya. Bintang gemintangpun enggan untuk berbinar, jika mendung menguasai langit yang memang sudah gelap karena malam. Ada jiwa yang tak pernah terlelap meski malam mencengkram dengan erat, dan memaksa untuk tidak terjaga, jiwa ini selalu mengembara mencari sesuatu yang hilang, sesuatu yang dulu pernah ada dan pernah menjadi bagian dari hari-hari yang kulalui entah itu siang atau malam.

Dia datang membawa kehidupan, kehidupan yang belum pernah kukenal sebelumnya, kehidupan yang bisa menunjukan arti dari hidup itu sendiri, dia memberi makna sedalam-dalamnya makna. tatapannya adalah kesejukan, senyumnya adalah kedamaian, dan tutur sapanya adalah kekuatan. Keberadaanya terabadikan, dan kehilangannya tak tergantikan. Semakin jauh dia pergi, semakin dekat kurasa hadirnya. Jiwaku lemah, lemah tanpa daya dihadapan takdir. Sekejap bersamamu adalah seumur hidup untukku...

Takdir sempat mempertemukan kita di satu pagi saat matahari baru menyapa bumi dan embunpun belum sempat mengering. Aku melihatnya seperti bidadari yang tak mampu kutatap anggun wajahnya yang tak pernah melepas senyum di bingkai bibirnya. Kekagumanku kubiarkan terpendam didalam dada, dan tak kupaksakan dia terungkap, karena biarlah Tuhan saja yang memberitahunya walau entah kapan. Hari-hari terus berganti tanpa sepatah katapun saat kami berjumpa. Aku merasa dia terlalu tinggi untuk kugapai, terlalu dalam untuk kuselami, dan terlalu jauh untuk kutempuhi.

Disuatu senja saat matahari mulai meredupkan panasnya, dan anginpun mengelus dengan lembut dedaunan juga pepopohonan dimana kuterduduk dibawahnya. Disinilah tempat kubaringkan segala resah, gundah, dan penatku akan segala problematika kehidupan. Lama kubiarkan kularut dalam lamunanku sampai tak sadar kudikagetkan oleh suara lembut yang berkata "Alam ini begitu indah,..." itulah kalimat pertama yang kudengar dari bibirnya yangtak pernah lepas dari senyum. Akupun tersenyum dan membalasnya "Alam ini memang indah, dan hanya diperuntukan bagi manusia", dia menjawab, "tapi kan makhluk hidup di bumi ini bukan hanya manusia?". Pertanyaan itu membuatku tersenyum simpul lalu aku berkata "selain manusia Tuhan menciptakan makhluk lain, tapi diantara semua makhluk Tuhan, hanya manusia yang memiliki derajat paling tinggi", "tapi sekaligus juga bisa memiliki derajat paling rendah" dengan lugas dia menjawab, dan akupun mengangguk pertanda setuju dengan perkataannya.

Kami menghabiskan waktu sampai matahari setengah terbenam di ufuk barat, itulah pertemuan pertama kami, pertemuan yang saat berpisah merasakan kerinduan, pertemuan yang membuat malam terasa panjang karena menanti pagi yang membawa dirinya hadir menemani, pertemuan yang membuat saat terpejam mata terasa bagai di surga, pertemuan yang enggan untuk mengatakan selamat tinggal... Kerinduan itu seperti hujan di kemarau yang panjang, atau seperti oase di padang tandus, dia selalu menjelma dari kesunyian membawa sukma untuk menari dalam khayal, menggenggam separuh harapan untuk ditambatkan di relung jiwa sang terkasih... seperti itulah kerinduan akan terbatas semua kata untuk menggambarkannya, akan habis seluruh persepsi untuk mengartikannya, dan memang dia ada bukan untuk satu definisi, tapi dia ada untuk memberi warna pada perasaan, hati, pikir, hasrat, dan jiwa...

Tuhan menciptakan Adam dan Hawa atas nama cinta, cinta yang mengabadikan hidup dan kehidupan, karena dimana ada cinta disitu ada kedhidupan. Dan cinta itu pula yang saat itu mengikat hati dan jiwa kami, cinta yang kami agungkan keberadaannya, karena kami yakin cinta inilah yang akan membawa kami pada satu gerbang kebahagiaan abadi. Waktu bergulir memaksa cerita agar terus berlanjut dan berubah, karena setiap hari berganti tidaklah pernah ada satupun pengulangan kisah yang sama. Jika saja waktu bisa kutahan barang sejenak, maka saat itulah kuingin waktu berhenti, saat diamana hati dan jiwa kami menyatu. Tapi kekuatan sang waktu begitu hebat hingga mampu menubuhkan rambut putih diantara sela-sela hitam pekatnya kelebatan rambut. Juga bisa membungkukan si gagah perkasa, atau mengkeriputkan kulit si cantik jelita. Seolah semua kekuatan menjadi lemah dihadapan sang waktu.